Hikmah Kenaikan Isa Al Masih a.s. dalam Ideologi Islam
Allah selalu menganjurkan kepada manusia agar menjadikan peristiwa apapun yang terjadi di masa lampau sebagai pelajaran (‘ibrah) untuk
menuju kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang
naïf apabila kita sebagai seorang muslim juga mampu mengambil pelajaran
dari peristiwa yang oleh orang Kristen disebut dengan kenaikan Isa
al-Masih atau Yesus Kristus. Terlepas dari persepsi pro dan kontra di
antara umat Islam mengenai peringatan tersebut. Satu hal yang patut menjadi catatan kita, peringatan kenaikan Isa al-Masih bukan pada peringatan ceremonial-nya,
akan tetapi lebih kepada implikasi yang lebih luas terhadap konsep yang
tercipta dan muncul akibat adanya peringatan tersebut, terutama
pengaruhnya terhadap ideologi dalam Islam.
Sebuah Ideologi dari Kenaikan Isa Al Masih
Masuknya
ide kenaikan Yesus secara fisik ke langit meresap masuk ke dunia Islam
secara bertahap. Yakni sejak sekitar tiga ratus tahun setelah masa
Rasulullah saw. Yang perlu diperhatikan ialah mengapa hal itu bisa terjadi. Rasulullah saw telah
menubuatkan bahwa di masa mendatang, Nabi Isa akan ‘turun’, namun
beliau tidak menyebutkan dari mana turunnya. Beliau tidak pernah menyatakan bahwa ‘turunnya’
ini adalah dari langit, tetapi memang dikatakan bahwa Yesus akan
‘turun.’ Kitab Alqur’an sendiri menyatakan bahwa Rasulullah saw ‘diturunkan.’ Rasulullah adalah satu-satunya nabi yang dalam Alqur’an dinyatakan sebagai ‘diturunkan.’
Karena itu bisa dimengerti bahwa Rasulullah saw mengacu
pada istilah Alqur’an tersebut tentang akan ‘turunnya’ sosok Nabi Isa
di kemudian hari. Demikian juga makna pernyataan beliau yang menyatakan
bahwa tidak ada nabi lain pada saat turunnya Isa al-Masih. Yang menjadi
kontroversi adalah istilah ‘Isa al-Masih’, yang dianggap sebagai nama
pribadi lalu ditafsirkan sebagai sosok historis Yesus yang hidup
beberapa abad sebelumnya. Secara gradual, para cendekiawan kemudian
meyakini bahwa jika Isa al-Masih disebut sebagai satu nama, maka
pastilah sosok itu adalah yang turun di Nazareth di antara umat Musa,
yaitu Nabi Isa a.s. Akibatnya ide ini menjadi berakar kuat pada
keyakinan segolongan umat muslim dan menjadi bagian dari akidah mereka.
Selanjutnya untuk mendukung pandangan tentang akan ‘turunnya’ Nabi Isa,
mereka lalu menyatakan bahwa sudah sewajarnya kalau Yesus juga naik ke
langit secara fisikal (jasmani).
Argumentasi
mereka didasarkan pada pandangan bahwa sesuatu tidak akan turun kalau
sebelumnya tidak naik dulu. Mereka lalu meyakini bahwa kenaikan Isa a.s.
ke langit adalah secara fisik dan mereka melupakan Alqur’an yang tidak
pernah menyebutkan bahwa Nabi Isa a.s. dinaikkan
ke langit dengan tubuh jasmaninya. Satu-satunya referensi yang bisa
ditemukan dalam Alqur’an yang mirip dengan keadaan itu ialah ayat: ‘Kebalikannya, Allah telah mengangkat ia kepada-Nya. . .’ (QS. An-Nisa [4]: 159). Dengan kata lain, Tuhan telah melakukan rafa’a (mengangkat) Isa a.s. kepada-Nya.
Ayat
di atas tidak mendukung pandangan cendekiawan Muslim yang menyakini
kenaikan Nabi Isa a.s. secara fisikal, karena hal itu hanya akan
menimbulkan pertanyaan: sedang berada dimana Tuhan ketika mengangkat
Nabi Isa kepada-Nya? Apakah Tuhan bukannya eksis ketika Yesus juga
eksis? Bukankah Tuhan menempati seluruh alam semesta? Apakah Tuhan
berada di atas, di bawah, di kiri atau di kanan Nabi Isa saat itu?
Adalah suatu kenyataan bahwa tidak ada jasad yang bisa bergerak atau
pindah ke arah Tuhan secara fisikal karena Tuhan bukanlah wujud fisikal,
mengingat benda fisik hanya bergerak ke benda fisik lainnya.
Hal
tersebut merupakan hukum yang bersifat tetap dan berlaku sekarang
maupun di masa lalu. Sebagai manusia yang juga berpendidikan, tentunya
juga bisa melakukan eksperimen apakah mungkin melakukan pergeseran suatu
jasad jasmani ke arah wujud ruhani. Suatu benda hanya bisa bergerak ke
arah benda lainnya. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan dari
penafsiran ayat di atas oleh para cendekiawan Muslim tentang Tuhan
mengangkat Yesus kepada-Nya secara fisikal, bisa menjadi indikasi bahwa
Tuhan sedang tidak berada di tempat di mana Yesus berada pada saat
sebelum kenaikannya, bahwa Tuhan sedang berada di suatu tempat di
langit.
Konklusi
inilah yang bisa ditarik dari argumentasi mereka tentang pengangkatan
Nabi Isa kepada-Nya dimana Dia akan membawanya terus sampai ke
perbatasan terjauh dari alam semesta, padahal menurut para ulama
tersebut Nabi Isa ditinggalkan di langit tengah, seolah-olah Tuhan hanya
mengisi ruang itu saja. Mereka ingin membuktikan sesuatu yang hasil
akhirnya sudah diyakini sebelumnya di muka.
Menurut Alqur’an, arti kata ‘nuzul’ atau ‘turun’ tidak harus menggambarkan laku turun secara fisik dan kata ‘rafa’a’
juga tidak menggambarkan kenaikan secara jasmaniah. Kedua kata ini
telah menimbulkan kerancuan dalam argumentasi ini. Keduanya berasal dari
bahasa Arab dan karena itu sepatutnya cara penggunaannya berpedoman
pada leksikon bahasa Arab. Kata ‘rafa’a’ atau kenaikan kepada
Tuhan bila digunakan dalam Alqur’an, tidaklah melukiskan suatu laku
kenaikan jasmaniah ke arah Tuhan. Rasulullah saw juga tidak pernah menggunakannya untuk mengartikan kenaikan secara jasmaniah. Rafa’a yang paling akbar adalah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw sendiri.
Kenaikan Isa Al Masih; Sebuah Pelajaran
Sebagaimana
yang telah tertulis di depan bahwa segala sesuatu bisa dijadikan bahan
untuk menuju kehidupan yang lebih baik, sekalipun kita harus
mengambilnya dari orang atau kelompok yang tidak segolongan dengan kita.
Dengan catatan bahwa hal tersebut memang layak dan pantas untuk kita
amalkan dalam konteks agama Islam, dan memang seharusnya itu yang harus
dilakukan.
Kisah
kenaikan Isa al-Masih tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa
sebenarnya hubungan vertikal kepada Tuhan bisa dilakukan oleh semua
orang, dalam pengertian yang paling sederhana. Hubungan tersebut tidak
hanya dimonopoli oleh para rasul, Nabi dan para wali.
Bukan
hanya nabi Isa a.s. yang pernah melakukan perjalanan spiritual yang
kemudian menghasilkan suatu progress atau kemajuan dalam membentuk
pribadi yang lebih mantap, nabi Muhammad saw pun telah melakukannya
dalam peristiwa Isra’ dan mi’raj yang akhirnya membawa risalah perintah
salat lima waktu. Kedua perjalanan spiritual dari utusan Allah tersebut
memberikan gambaran pada kita bahwa dalam melakukan perjalanan
spiritual, pada dasarnya terdapat berbagai macam hal yang bisa diambil
sebagai sebuah kebaikan.
Kita
sadar bahwa kita memang tidak bisa mempraktikkan perjalanan spiritual
seperti layaknya Nabi dan Rasul Allah saw terdahulu. Tetapi memang Allah
sebagai Tuhan yang maha adil, telah memberikan sarana kepada kita untuk
bisa mempraktikkan esensi dari perjalan spiritual tersebut, yaitu
dengan adanya perintah shalat. Secara tidak langsung perintah tersebut
menjadi satu-satunya sarana bagi kita untuk bisa berinteraksi langsung
dengan Allah SWT. Hal tersebut bisa didapat dan dilakukan bagi
orang-orang yang mau berfikir dan merenung.
Lebih
jauh dari itu, bukan hanya dapat merasakan perjalanan spiritual, tetapi
memang perintah Allah tersebut menunjukkan betapa besar kasih sayang
Allah kepada manusia sampai-sampai selalu menyediakan sarana untuk
manusia agar bisa menuju satu kehidupan yang lebih baik.
sumber: http://alrasikh.uii.ac.id/2007/05/24/hikmah-kenaikan-isa-al-masih-as-dalam-ideologi-islam/
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Hikmah Kenaikan Isa Al Masih a.s. dalam Ideologi Islam, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini:
Gabung dalam percakapan