Teori Kepemimpinan Jawa (Hasta Brata)
8 Sifat Kepemimpinan Hasta Brata
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta, Samudra, Dahana dan Bhumi.
Surya
Surya (Matahari) memancarkan
sinar terang sebagai sumber kehidupan.
Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan
daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
Candra
Candra (Bulan), yang
memancarkan sinar ditengah kegelapan malam.
Seorang pemimpin hendaknya mampu
memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
Kartika
Kartika (Bintang), memancarkan
sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah,
sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat
kebaikan
Angkasa
Angkasa (Langit), luas
tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.
Prinsip seorang pemimpin
hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampung
pendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
Maruta
Maruta (Angin), selalu
ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang
kosong.
Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat
dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya.
Samudra
Samudra (Laut/air), betapapun
luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan.
Pemimpin hendaknya bersifat
kasih sayang terhadap rakyatnya.
Dahana
Dahana (Api), mempunyai
kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya.
Seorang pemimpin hendaknya
berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang
bulu.
Bhumi
Bhumi (bumi/tanah), bersifat
kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya.
Pemimpin hendaknya bermurah hati
(melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat
lagi yang banyak dipakai, agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa)
memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam
menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah
terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya
amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar
dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi
seorang pemimpin. Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan
emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin. Falsafah sebagai seorang
anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan
dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme
kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan,
Keno cepet ning aja ndhisiki, keno pinter ning aja
ngguroni, keno takon ning aja ngrusuhi.
Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang
pimpinan), boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi
jangan menyudutkan pimpinan.
Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang
memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama
sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja,
tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak
buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti
citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus
dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (Ngrusuhi) pimpinan, namun
pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik,tanpa harus
mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orangpun akan menilai baik.
Masih banyak filsafat jawa yang mungkin, tidak dapat diuraikan
satu persatu, namun ulasan ini hanya ingin memberikan suatu wacana umum
kepada pembaca, bahwa banyak sekali ilmu yang dapat kita gali dari budaya
(Jawa), sebelum kita menggali budaya luar terlebih hanya meniru (budaya
luar). Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan
berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua
sebagai wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang
bangsa kita. Dan juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi
tanggung jawab warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita
semua. Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa
meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya.
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Teori Kepemimpinan Jawa (Hasta Brata), jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini:
Gabung dalam percakapan