Tirakat Leluhur Sang Ahlul Quran
Tirakat Leluhur Sang Ahlul Quran
Kiai Hasan Besari sangat ingin hapal Quran. Berbagai macam upaya ia lakukan agar dapat hapal kitab suci itu. Riyadhah lahir dan batin ia lakoni demi bisa meraih cita-cita tersebut. Namun ternyata beliau tak ditakdirkan menjadi hafizh Quran. Apakah upayanya percuma? Tidak.
Putra beliau, Kiai Abdullah Rosyad, juga demikian. Selama sembilan tahun melakukan riyadhah menghapal Quran, tak jua berhasil. Apakah upayanya juga percuma? Tidak.
Suatu hari saat berada di Mekah, Kiai Abdullah Rosyad mendengar ada hatif (suara tanpa rupa) membisikkan padanya bahwa anak-cucunyalah yang akan menjadi para ahlul Quran.
Salah satu putra Kiai Abdullah Rosyad bernama Muhammad Munawwir. Sejak kecil sudah terbiasa nderes Quran. Jika sanggup mengkhatamkan Quran dalam waktu seminggu, sang ayah akan menghadiahinya uang senilai 2,5 rupiah, cukup besar untuk ukuran saat itu. Hingga hal itu menjadi kebiasaan bagi Munawwir muda, bahkan setelah tidak diberi hadiah lagi, menjadi rutinitas sampai akhir hayatnya.
Waktu berlalu. Munawwir muda mulai mengaji kesana kemari, hingga ia berangkat ngaji ke Tanah Suci. Konon, saat berbulan-bulan perjalanan di atas kapal, terbersit keinginan di hatinya untuk menghapal Quran, maka ia pun mengirim surat ke Jawa untuk mohon ijin kepada ayahnya.
Sambil menunggu surat dikirim dan mendapat balasan, Munawwir muda mulai menghapalkan Quran. Sebelum surat balasan dari ayahnya sampai, hapalan Quran sudah dikhatamkan. Bahkan dikatakan bahwa beliau menghapal 30 juz hanya dalam waktu 40 hari di atas kapal.
Benar atau tidaknya kisah tersebut, yang jelas buah riyadhah ayah dan kakeknya jelas meranum pada dirinya. Setelah 21 tahun mengaji di Tanah Suci, ia kembali ke Nusantara sebagai sosok Kiai Munawwir, ulama besar yang dikenal sebagai ahlul Quran, bahkan guru besar para ahlul Quran. Ia menjadi jujugan dan rujukan ilmu qiraat di Tanah Jawa pada masa itu.
Santri-santri Kiai Munawwir bahkan dikenal sebagai para ulama Quran yang mendirikan pesantren-pesantren tahfizh legendaris dimana-mana. Sebut saja Kiai Arwani di Kudus, Kiai Umar di Kempek, Kiai Umar di Mangkuyudan Solo, Kiai Suhaimi di Benda Bumiayu, Kiai Muntaha di Wonosobo, dan banyak lagi santrinya yang masyhur sebagai waliyullah.
Belum lagi anak-cucu Kiai Munawwir yang banyak menjadi ulama, cendekiawan, dan hafizh Quran, bak cendawan di musim hujan. Sebut saja Kiai Abdul Qadir, Kiai Abdullah Affandi, Kiai Ahmad, Kiai Dalhar, Kiai Zainal Abidin yang faqih nan zahid, Kiai Warson penulis kamus legendaris, dan putra-putrinya yang lain. Hingga kini, pesantren peninggalannya di Krapyak Yogyakarta masih menjadi salah satu rujukan sanad pengajian Quran di Tanah Jawa.
Intinya, riyadhah dan kesungguhan seseorang tidak menjadi percuma meski ia tidak mengunduh buahnya. Seorang penanam mungkin tidak bisa menikmati hasil dari pohon yang ia tanam. Namun anak cucunya kelak akan memanen manisnya buah dan rindangnya naungan pohon-pohon leluhurnya.
Kita tak perlu memaksakan diri atau orang lain menjadi hafizh Quran. Apalagi sekedar mengikuti tren dan motivasi-motivasi duniawi yang pasti akan mengecewakan hati. Namun mencintai Quran adalah suatu keharusan. Maka hal yang lebih penting adalah melazimi Quran dengan membaca, nderes, mempelajari, dan semampunya mengamalkan.
Kalau memang sudah bercita-cita menghapal Quran tapi tak kesampaian, jangan pernah menganggap upaya itu sebagai kesia-siaan. Sebagaimana kisah Kiai Hasan Besari dan Kiai Abdullah Rosyad yang berbuah pada keturunannya, Kiai Munawwir.
Itulah sebabnya, Kiai Najib, cucu Kiai Munawwir yang kini melanjutkan pengasuhan pesantren kakeknya, seringkali berpesan; Berapapun hapalan Quran yang didapat harus dijaga, jangan sampai disepelekan dan dilalaikan, kalau bukan kamu yang jadi, maka kelak anakmu yang jadi, atau cucumu, atau minimal tetanggamu.
Putra beliau, Kiai Abdullah Rosyad, juga demikian. Selama sembilan tahun melakukan riyadhah menghapal Quran, tak jua berhasil. Apakah upayanya juga percuma? Tidak.
Suatu hari saat berada di Mekah, Kiai Abdullah Rosyad mendengar ada hatif (suara tanpa rupa) membisikkan padanya bahwa anak-cucunyalah yang akan menjadi para ahlul Quran.
Salah satu putra Kiai Abdullah Rosyad bernama Muhammad Munawwir. Sejak kecil sudah terbiasa nderes Quran. Jika sanggup mengkhatamkan Quran dalam waktu seminggu, sang ayah akan menghadiahinya uang senilai 2,5 rupiah, cukup besar untuk ukuran saat itu. Hingga hal itu menjadi kebiasaan bagi Munawwir muda, bahkan setelah tidak diberi hadiah lagi, menjadi rutinitas sampai akhir hayatnya.
Waktu berlalu. Munawwir muda mulai mengaji kesana kemari, hingga ia berangkat ngaji ke Tanah Suci. Konon, saat berbulan-bulan perjalanan di atas kapal, terbersit keinginan di hatinya untuk menghapal Quran, maka ia pun mengirim surat ke Jawa untuk mohon ijin kepada ayahnya.
Sambil menunggu surat dikirim dan mendapat balasan, Munawwir muda mulai menghapalkan Quran. Sebelum surat balasan dari ayahnya sampai, hapalan Quran sudah dikhatamkan. Bahkan dikatakan bahwa beliau menghapal 30 juz hanya dalam waktu 40 hari di atas kapal.
Benar atau tidaknya kisah tersebut, yang jelas buah riyadhah ayah dan kakeknya jelas meranum pada dirinya. Setelah 21 tahun mengaji di Tanah Suci, ia kembali ke Nusantara sebagai sosok Kiai Munawwir, ulama besar yang dikenal sebagai ahlul Quran, bahkan guru besar para ahlul Quran. Ia menjadi jujugan dan rujukan ilmu qiraat di Tanah Jawa pada masa itu.
Santri-santri Kiai Munawwir bahkan dikenal sebagai para ulama Quran yang mendirikan pesantren-pesantren tahfizh legendaris dimana-mana. Sebut saja Kiai Arwani di Kudus, Kiai Umar di Kempek, Kiai Umar di Mangkuyudan Solo, Kiai Suhaimi di Benda Bumiayu, Kiai Muntaha di Wonosobo, dan banyak lagi santrinya yang masyhur sebagai waliyullah.
Belum lagi anak-cucu Kiai Munawwir yang banyak menjadi ulama, cendekiawan, dan hafizh Quran, bak cendawan di musim hujan. Sebut saja Kiai Abdul Qadir, Kiai Abdullah Affandi, Kiai Ahmad, Kiai Dalhar, Kiai Zainal Abidin yang faqih nan zahid, Kiai Warson penulis kamus legendaris, dan putra-putrinya yang lain. Hingga kini, pesantren peninggalannya di Krapyak Yogyakarta masih menjadi salah satu rujukan sanad pengajian Quran di Tanah Jawa.
Intinya, riyadhah dan kesungguhan seseorang tidak menjadi percuma meski ia tidak mengunduh buahnya. Seorang penanam mungkin tidak bisa menikmati hasil dari pohon yang ia tanam. Namun anak cucunya kelak akan memanen manisnya buah dan rindangnya naungan pohon-pohon leluhurnya.
Kita tak perlu memaksakan diri atau orang lain menjadi hafizh Quran. Apalagi sekedar mengikuti tren dan motivasi-motivasi duniawi yang pasti akan mengecewakan hati. Namun mencintai Quran adalah suatu keharusan. Maka hal yang lebih penting adalah melazimi Quran dengan membaca, nderes, mempelajari, dan semampunya mengamalkan.
Kalau memang sudah bercita-cita menghapal Quran tapi tak kesampaian, jangan pernah menganggap upaya itu sebagai kesia-siaan. Sebagaimana kisah Kiai Hasan Besari dan Kiai Abdullah Rosyad yang berbuah pada keturunannya, Kiai Munawwir.
Itulah sebabnya, Kiai Najib, cucu Kiai Munawwir yang kini melanjutkan pengasuhan pesantren kakeknya, seringkali berpesan; Berapapun hapalan Quran yang didapat harus dijaga, jangan sampai disepelekan dan dilalaikan, kalau bukan kamu yang jadi, maka kelak anakmu yang jadi, atau cucumu, atau minimal tetanggamu.
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Tirakat Leluhur Sang Ahlul Quran, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini:
Gabung dalam percakapan